Apakah Jamu dan Obat Herbal Halal Dikonsumsi? Ini Penjelasan MUI

industri halal

Jamu dan obat herbal kerap menjadi alternatif pilihan selain mengonsumsi obat kimia. Namun tidak semua jamu dan obat herbal berstatus halal. Jamu sudah lama dijadikan obat herbal untuk mengobati berbagai penyakit. Apalagi di Indonesia, banyak racikan jamu yang diperuntukkan untuk menjaga kesehatan sekaligus mengobati penyakit dengan bahan herbal.

Di masa pandemi Covid-19, jamu kembali naik daun. Banyak orang mencari racikan jamu untuk memperkuat imun demi mencegah paparan virus. Apalagi jika melihat bahan bakunya yang berasal dari bahan alami, jamu dipercaya memiliki efek samping yang lebih ringan dibandingkan obat kimia.

Dilansir dari Halal MUI (28/2) kebanyakan jamu atau obat herbal yang diproduksi di Indonesia memanfaatkan beragam tanaman dan rempah-rempah yang dipercaya memiliki banyak manfaat, seperti jahe, kunyit, sereh, dan sebagainya. Pada dasarnya, tanaman atau rempah-rempah ini masuk dalam daftar produk tidak kritis alias halal. Namun, akan lain ceritanya bila bahan-bahan tersebut mengalami proses pengolahan.

Untuk menentukan produk jamu halal atau tidak maka harus dipastikan dulu bahan bakunya, terutama untuk jamu pabrikan yang diproduksi massal. Jamu juga biasanya dicampur dengan bahan lain yang kemungkinan berasal dari hewan. Sehingga harus dipastikan bahan campuran tersebut berasal dari hewan halal yang disembelih sesuai syariah.

Perlu juga menjadi perhatian, ada jamu yang menggunakan campuran bahan dari organ binatang buas. Sehingga status kehalalannya pun dapat diragukan, atau bahkan menjadi haram dikonsumsi bagi umat muslim.

Ir. Muti Arintawati, M.Si., Wakil Direktur LPPOM MUI, menjelaskan, ada jamu herbal dari China, yang banyak dipergunakan untuk pasien setelah operasi besar. Misalnya untuk ibu-ibu setelah operasi Cesar, atau pasien operasi usus buntu. Konon, mengkonsumsi jamu atau obat tradisional China dapat mempercepat pemulihan luka.

“Setelah ingredient kandungan bahannya dibaca dengan teliti, ternyata, jamu atau obat yang disebut herbal itu mengandung bahan hewani juga. Diantaranya adalah darah ular, tangkur buaya, kuku macan, hati beruang, dan sebagainya,” tutur Muti.

Selain bahan baku, hal yang perlu diperhatikan juga adalah kapsul untuk mengemas jamu. Bahan cangkang kapsul ini umumnya terbuat dari gelatin, dan sebagian besar gelatin terbuat dari hewan.

“Sampai saat ini, belum ada produsen yang memproduksi kolagen secara komersial di Indonesia. Hampir 60% penggunaan kolagen dan gelatin di dunia berasal dari babi,” ujar Dr. Mala Nurimala, S.Pi., M.Si., Dosen Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikan dan Ilmu Kelautan, IPB University sekaligus peneliti di Halal Science Center IPB.

Fasilitas produksi jamu juga patut diperhatikan. “Sebagian perusahaan menggunakan fasilitas pihak ketiga. Pihak ketiga ini bisa jadi menerima pesanan tidak hanya dari satu perusahaan. Artinya, satu pabrik bisa memproduksi untuk sepuluh perusahaan,” terang Muti.

Sumber: food.detik.com, Apakah Jamu dan Obat Herbal Halal Dikonsumsi? Ini Penjelasan MUI